Entah sejak kapan saya mulai mengubah pola pikir, bahwa orang teknik harus belajar teknik dan bekerja di bidang teknik. Mungkin sejak saya bekerja magang di Indosat, ya? Yang membuat saya berpikir lebih luas adalah Pak Sony Teguh Trilaksono, yg sekarang sudah menjabat sebagai Kepala Divisi JBRO Indosat yg berkantor di Wisma Antara Lt. 1. Dulu, Pak Sony adalah salah satu tim SDM Indosat di ITCC, Indosat Training and Conference Center, yang menggodok grup magang saya, PMI (Program Magang Indosat) 1, di ITCC Jatiluhur.
Apa yg telah beliau katakan? Beliau mengatakan bahwa beliau memilih beberapa orang teknik yg menurut beliau berpotensi, untuk dijadikan avant garde, ujung tombak penjualan, alias bergabung dg tim sales, Account Executive (AE). Tanggapan teman-teman teknik yg waktu itu masuk tim AE : "Yah, kok gue di sales sih. Gue kan orang teknik. Ilmu gue gak kepake dong, bisa menguap lama-lama."
Padahal Pak Sony ingin mencoba metode baru, kalau selama ini orang sales adalah murni dg latar belakang pendidikan "menjual", kali ini dicoba bagaimana kalau orang teknik yg diajari "teknik" menjual. Intinya Pak Sony menganggap bahwa orang teknik pasti lebih memahami teknik, sehingga ketika harus mempresentasikan produk kepada pelanggan, mereka bisai lebih PD, lebih fight, dan lebih baik dalam memberikan solusi. Tinggal memoles mereka dengan "gemulai" orang penjualan, dan menghapus kekakuan khas orang teknik.
Well?
Memang bekerja harus dengan hati, atau pekerjaan itu akan membunuhmu. Sebagian besar masih berhati di teknik, sehingga tidak bisa memandang dengan lebih luas, pengalaman atau ilmu lain yg bisa mereka peroleh selama "berjualan". Ada yg sudah menemukan ritmenya di penjualan, namun merasa tidak cukup "dihargai" perjuangannya. Begitulah. Namun buktinya, salah satu teman "teknik" saya, berhasil jadi "penjual" yg baik, tidak hanya berjualan produk Indosat, tapi juga "produk" lain, sampai bisa lebih mandiri tidak tergantung pada office hour, eight to five, atau malah eight to the end of the day... hehehe
Ketika saya pindah ke perusahaan baru, pandangan yg sama masih juga mendominasi. Orang teknik masih merasa lebih berjaya kalau bisa menjadi ahli teknik, dan merasa terhina kalau harus mengurusi hal-hal remeh yg sifatnya non teknik. Aneh... Padahal kalau mereka disuruh mengerjakan hal remeh itu, mengorganisir suatu event misalnya, apa mereka mampu? Mengetikkan Nota Dinas misalnya, apa mereka bisa?
Selama di Indosat sendiri saya jarang bersentuhan langsung dengan bidang tekniknya, walaupun bagian saya berbau teknik, dan lama-lama berbau marketing seiring dg kebijakan transformasi perusahaan itu. Saya lebih banyak menghabiskan waktu di belakang meja, membuat business plan, menghitung-hitung keuntungan kerugian proyek, membuat presentasi produk untuk pelanggan, sampai menggantikan tugas sekretaris yg cuti, atau membantu bagian pengadaan untuk membereskan file-file mereka. Lalu saya jadi mengerti tentang berbagai hal non teknis yg ikut menentukan kelangsungan proyek teknis, saya mengerti tentang takah surat, saya mengenal lebih banyak orang di perusahaan itu dan di bagian mana mereka berperan dalam proyek dan siapa yg bisa kita mintai bantuan ketika kita perlukan, juga tentang alur pengadaan barang siapa saja yg bisa ikut bidding, dan sebagainya. Saya juga pernah mengikuti training singkat tentang tax, pajak. Sia-sia karena tidak teknis? Tidak! Saya toh jadi mengerti siapa yg harus membayar pajak pada siapa dalam sebuah penjualan antara Indosat dengan perusahaan A misalnya. Saya juga jadi tau macam-macam jenis pajak dan kenapa pajak itu bisa muncul, dan kapan saya terkena pajak itu dan kapan tidak.
Di perusahaan baru, saya tertarik untuk mengikuti training sejenis marketing intelligence. Hey, itu bidang yg menarik. Bagaimana kita bisa menuai informasi tentang kompetitor? Harus bayarkah, ada etikanya kah, atau babat habis? Percuma kan kita unggul di bidang teknik kalau perusahaan kita sering kecolongan informasi penting oleh kompetitor? Berasa jadi James Bond! Itu bukan teknik, jadi sia-sia? Tidak!
Baru-baru ini saya lagi-lagi tertarik dengan artikel yg dibawa pulang suami saya, soal antropolog yg bekerja untuk Nokia! Wew? Antropolog di NOK? What for? Well, Jan Chipchase, the antropologist, merupakan peneliti perilaku manusia yg hasil penelitiannya akan digunakan oleh unit terkait di Nokia dalam mengembangkan aplikasi, layanan, maupun produk NOK. See?
Sudah berapa kali entah saya menuliskan blog seperti ini. Memang saya ambil dari sudut teknik, setjara saya sarjana teknik. Tapi mungkin sudut pandangnya bisa dilihat dari kebalikannya. Misalkan saja, bapa saya almarhum pernah mendapatkan mahasiswi mamah, alias alumni PERIKANAN IPB, bekerja di perusahaan yg sama sekali tidak berikan, TELKOM, BANK DANAMON, BANK BNI, BANK MANDIRI... named it. Beliau sampai terheran-heran, kok bisa? Ngapain juga anak perikanan di perusahaan gitu?
Well, saya sendiri? Latar pendidikan saya di STT Telkom bukan dari jurusan Jaringan Telekomunikasi, Transmisi Telekomunikasi, atau Piranti Telekomunikasi, tapi dari jurusan aneh bin ajaib yg katanya kuliahnya kebanyakan ngayal, Pengolahan Sinyal Digital. Waktu kerja? Gak nyambung sama sekali. Lebih tepat kalau saya bekerja sebagai peneliti atau dosen untuk bidang kuliah saya dulu. Karena hanya di pekerjaan itu saya bisa mengembangkan ilmu saya. Menyesal? Yah, pernah. Bayangkan, orang dengan pendidikan itu paling banter dipandang hebat oleh LIPI. Gajinya? Gak sampe 1 jt untuk pemula. Bandingkan dengan teman-teman saya yg berlatar jurusan transmisi atau jaringan, mereka dipandang hebat di hampir semua perusahaan Telekomunikasi. Mereka bisa jadi ahli optim, mengoptimalkan sinyal BTS perusahaan GSM terkenal dg gaji di atas 5 jutaan. Mereka bisa jadi ahli trafik, menghitung-hitung trafik telekomunikasi yg berhubungan dengan keputusan ekspansi jaringan misalnya. Belum lagi kesempatan jalan ke luar negeri, ntah untuk bejalar, meeting, konferensi, seminar... Ah, flamboyanlah. Lagipula, apa yg kita dapatkan di bangku sekolah/kuliah, seharusnya membentuk pola berpikir dan kepribadian kita, menjadi lebih teratur, metodis, smart, penuh akal, ide, dan keahlian, penuh empati dan terbuka pikirannya pada perubahan yg menuju kebaikan dan kebenaran, bukan sekedar mencari titel dan nilai. Sayangnya yg dikembangkan di Indonesia ini adalah pendidikan berbasis nilai tertinggi, peserta ujian terbaik, lulusan suma cum laude, dan yg hasil akhirnya bisa jadi orang sukses terkenal kaya raya terhormat. Wew... Jadilah hasil akhirnya orang yg terkotak-kotak, atau malah orang yg multitasking tapi gak punya kompetensi yg baik. Saya contohnya. Tapi kemudian saya mendapat pencerahan seperti yg telah saya sebutkan sebelumnya.
Apalagi setelah menikah, saya mendapatkan pelajaran berharga dari suami saya, bahwa kita harus yakin, bukan hanya sekedar tahu, segala sesuatu yg menimpa kita, baik ataupun buruk sudah menjadi ketentuan Alloh atas kita. Kalau kita bekerja dengan niat mendapatkan harta berlimpah dan kedudukan terpandang, dihormati orang, dianggap hebat, maka itulah yg akan kita dapatkan. Namun kalau kita bekerja dengan mengharap ridho Alloh, insyaalloh kita bisa memandang segala sesuatu dengan lebih luas, lebih baik, lebih positif, lebih ikhlas.
@STOCEMPAKAPUTIH
Apa yg telah beliau katakan? Beliau mengatakan bahwa beliau memilih beberapa orang teknik yg menurut beliau berpotensi, untuk dijadikan avant garde, ujung tombak penjualan, alias bergabung dg tim sales, Account Executive (AE). Tanggapan teman-teman teknik yg waktu itu masuk tim AE : "Yah, kok gue di sales sih. Gue kan orang teknik. Ilmu gue gak kepake dong, bisa menguap lama-lama."
Padahal Pak Sony ingin mencoba metode baru, kalau selama ini orang sales adalah murni dg latar belakang pendidikan "menjual", kali ini dicoba bagaimana kalau orang teknik yg diajari "teknik" menjual. Intinya Pak Sony menganggap bahwa orang teknik pasti lebih memahami teknik, sehingga ketika harus mempresentasikan produk kepada pelanggan, mereka bisai lebih PD, lebih fight, dan lebih baik dalam memberikan solusi. Tinggal memoles mereka dengan "gemulai" orang penjualan, dan menghapus kekakuan khas orang teknik.
Well?
Memang bekerja harus dengan hati, atau pekerjaan itu akan membunuhmu. Sebagian besar masih berhati di teknik, sehingga tidak bisa memandang dengan lebih luas, pengalaman atau ilmu lain yg bisa mereka peroleh selama "berjualan". Ada yg sudah menemukan ritmenya di penjualan, namun merasa tidak cukup "dihargai" perjuangannya. Begitulah. Namun buktinya, salah satu teman "teknik" saya, berhasil jadi "penjual" yg baik, tidak hanya berjualan produk Indosat, tapi juga "produk" lain, sampai bisa lebih mandiri tidak tergantung pada office hour, eight to five, atau malah eight to the end of the day... hehehe
Ketika saya pindah ke perusahaan baru, pandangan yg sama masih juga mendominasi. Orang teknik masih merasa lebih berjaya kalau bisa menjadi ahli teknik, dan merasa terhina kalau harus mengurusi hal-hal remeh yg sifatnya non teknik. Aneh... Padahal kalau mereka disuruh mengerjakan hal remeh itu, mengorganisir suatu event misalnya, apa mereka mampu? Mengetikkan Nota Dinas misalnya, apa mereka bisa?
Selama di Indosat sendiri saya jarang bersentuhan langsung dengan bidang tekniknya, walaupun bagian saya berbau teknik, dan lama-lama berbau marketing seiring dg kebijakan transformasi perusahaan itu. Saya lebih banyak menghabiskan waktu di belakang meja, membuat business plan, menghitung-hitung keuntungan kerugian proyek, membuat presentasi produk untuk pelanggan, sampai menggantikan tugas sekretaris yg cuti, atau membantu bagian pengadaan untuk membereskan file-file mereka. Lalu saya jadi mengerti tentang berbagai hal non teknis yg ikut menentukan kelangsungan proyek teknis, saya mengerti tentang takah surat, saya mengenal lebih banyak orang di perusahaan itu dan di bagian mana mereka berperan dalam proyek dan siapa yg bisa kita mintai bantuan ketika kita perlukan, juga tentang alur pengadaan barang siapa saja yg bisa ikut bidding, dan sebagainya. Saya juga pernah mengikuti training singkat tentang tax, pajak. Sia-sia karena tidak teknis? Tidak! Saya toh jadi mengerti siapa yg harus membayar pajak pada siapa dalam sebuah penjualan antara Indosat dengan perusahaan A misalnya. Saya juga jadi tau macam-macam jenis pajak dan kenapa pajak itu bisa muncul, dan kapan saya terkena pajak itu dan kapan tidak.
Di perusahaan baru, saya tertarik untuk mengikuti training sejenis marketing intelligence. Hey, itu bidang yg menarik. Bagaimana kita bisa menuai informasi tentang kompetitor? Harus bayarkah, ada etikanya kah, atau babat habis? Percuma kan kita unggul di bidang teknik kalau perusahaan kita sering kecolongan informasi penting oleh kompetitor? Berasa jadi James Bond! Itu bukan teknik, jadi sia-sia? Tidak!
Baru-baru ini saya lagi-lagi tertarik dengan artikel yg dibawa pulang suami saya, soal antropolog yg bekerja untuk Nokia! Wew? Antropolog di NOK? What for? Well, Jan Chipchase, the antropologist, merupakan peneliti perilaku manusia yg hasil penelitiannya akan digunakan oleh unit terkait di Nokia dalam mengembangkan aplikasi, layanan, maupun produk NOK. See?
Sudah berapa kali entah saya menuliskan blog seperti ini. Memang saya ambil dari sudut teknik, setjara saya sarjana teknik. Tapi mungkin sudut pandangnya bisa dilihat dari kebalikannya. Misalkan saja, bapa saya almarhum pernah mendapatkan mahasiswi mamah, alias alumni PERIKANAN IPB, bekerja di perusahaan yg sama sekali tidak berikan, TELKOM, BANK DANAMON, BANK BNI, BANK MANDIRI... named it. Beliau sampai terheran-heran, kok bisa? Ngapain juga anak perikanan di perusahaan gitu?
Well, saya sendiri? Latar pendidikan saya di STT Telkom bukan dari jurusan Jaringan Telekomunikasi, Transmisi Telekomunikasi, atau Piranti Telekomunikasi, tapi dari jurusan aneh bin ajaib yg katanya kuliahnya kebanyakan ngayal, Pengolahan Sinyal Digital. Waktu kerja? Gak nyambung sama sekali. Lebih tepat kalau saya bekerja sebagai peneliti atau dosen untuk bidang kuliah saya dulu. Karena hanya di pekerjaan itu saya bisa mengembangkan ilmu saya. Menyesal? Yah, pernah. Bayangkan, orang dengan pendidikan itu paling banter dipandang hebat oleh LIPI. Gajinya? Gak sampe 1 jt untuk pemula. Bandingkan dengan teman-teman saya yg berlatar jurusan transmisi atau jaringan, mereka dipandang hebat di hampir semua perusahaan Telekomunikasi. Mereka bisa jadi ahli optim, mengoptimalkan sinyal BTS perusahaan GSM terkenal dg gaji di atas 5 jutaan. Mereka bisa jadi ahli trafik, menghitung-hitung trafik telekomunikasi yg berhubungan dengan keputusan ekspansi jaringan misalnya. Belum lagi kesempatan jalan ke luar negeri, ntah untuk bejalar, meeting, konferensi, seminar... Ah, flamboyanlah. Lagipula, apa yg kita dapatkan di bangku sekolah/kuliah, seharusnya membentuk pola berpikir dan kepribadian kita, menjadi lebih teratur, metodis, smart, penuh akal, ide, dan keahlian, penuh empati dan terbuka pikirannya pada perubahan yg menuju kebaikan dan kebenaran, bukan sekedar mencari titel dan nilai. Sayangnya yg dikembangkan di Indonesia ini adalah pendidikan berbasis nilai tertinggi, peserta ujian terbaik, lulusan suma cum laude, dan yg hasil akhirnya bisa jadi orang sukses terkenal kaya raya terhormat. Wew... Jadilah hasil akhirnya orang yg terkotak-kotak, atau malah orang yg multitasking tapi gak punya kompetensi yg baik. Saya contohnya. Tapi kemudian saya mendapat pencerahan seperti yg telah saya sebutkan sebelumnya.
Apalagi setelah menikah, saya mendapatkan pelajaran berharga dari suami saya, bahwa kita harus yakin, bukan hanya sekedar tahu, segala sesuatu yg menimpa kita, baik ataupun buruk sudah menjadi ketentuan Alloh atas kita. Kalau kita bekerja dengan niat mendapatkan harta berlimpah dan kedudukan terpandang, dihormati orang, dianggap hebat, maka itulah yg akan kita dapatkan. Namun kalau kita bekerja dengan mengharap ridho Alloh, insyaalloh kita bisa memandang segala sesuatu dengan lebih luas, lebih baik, lebih positif, lebih ikhlas.
@STOCEMPAKAPUTIH
1 comment:
kerennn....
inspiring bgt mbak...
kebetulan saya skrg jg PMI d sby dan mngalami hal yg mirip dgn mbak..
berasa berkaca dgn diri sendiri...
hehehe..
Post a Comment